Kraton Yogyakarta Pada suatu pagi, Tanggal 7 juli 2018, aku berkunjung ke Perpustakaan Widya Budaya Kraton Yogyakarta. Tidak banyak yang tahu bahwa di dalam Kraton Yogya terdapat perpustakaan yang menyimpan banyak manuskrip. Saya bertanya dua kali, gres bertemu perpustakaan Sultan Yogyakarta tersebut. Selama ini, Museum Sono Budoyo yang populer dan bangunannya relatif megah, sempurna di depan Alun- Alun Yogyakarta. Pada pintu masuk perpustakaan ada tulisan: no entrance, dihentikan masuk. Ternyata di balik pintu tersebut ada sebuah bangunan yang cukup tinggi, sederhana, tanpa tanda- tanda bahwa di balik temboknya yang kokoh tersimpan ratusan manuskrip dan buku- buku sejarah kesultanan Yogyakarta berikut beberapa katalognya. Saya bertemu dengan pak Candra dan KRTPurwodiningrat. Pak Candra ialah pegawai yang pernah melanglang buana di Jakarta. Ia bercerita bahwa sudah pernah 20 tahun mencicipi sumpeknya kota Jakarta. Ia pada alhasil menentukan mengabdi di perpustakaan Kraton Yogyakarta. KRT Purwodiningrat ialah pensiunan pegawai Balai Pustaka. Pada umurnya yang sudah senja, ia menentukan untuk mengabdi dan terus melaksanakan transliterasi karya dan manuskrip kesultanan Yogyakarta. Ia mampu menerjemahkan dan mengetik eksklusif sekitar 6 lembar perhari. Ia sedang mentransliterasi Naskah Gianti yang memuat serba- serbi sejarah kesultanan Yogyakarta. Sejarah perang, sejarah kota, semua ada di dalam naskah Gianti. Dari kisah pak Candra, bahwa Thomas Rafless dikala kalah perang memboyong semua manuskrip Kraton Yogyakarta. Semua diangkut ke Inggeris. Konon, hanya dua manuskrip yang tertinggal atau ditinggal. Satu manuskrip al- Alquran al- Karim yang berornamen indah. Berat al- Alquran tersebut sekitar 5 kg. Ada lagi naskah Surya Raja yang memuat kisah raja- raja Yogyakarta. Ironisnya, manuskrip- manuskrip yang dibawa lari Thomas Rafless tersebut, sekarang berada di Inggeris. Dan celakanya, tidak gampang untuk mengaksesnya alasannya milik Yayasan keluarga. Sehingga, bahwasanya kita telah mengalami keterputusan intelektual. Ini kerugian bagi bangsa Indonesia. Kita kehilangan "memori kolektif" sebagai bangsa besar.
Advertisement