Tantangan dan Peluang Pendidikan Tinggi (Islam) Indonesia Dr Muhammad Zain Posisi Agama di Era Akselerasi Era revolusi IT ialah era akselerasi. Semua serba sibuk. Serba cepat. Yang lambat akan terlindas ileh zaman. Ibarat naik kereta super cepat, telat satu menit akan tertinggal, dan berdampak beberapa jam kemudian. Kita harus berlari kencang. Seperti seekor kijang yang hendak diterkam harimau. Pilihannya hanya dua. Berlari kencang dan selamat. Atau lambat, dan mati diterkam harimau. Is God in cyberspace?, Demikian pertanyaan kritis Thomas L. Friedman dalam buku terbarunya: Thank You for Being Late, an optimist's guide to thriving in the age of accelerations, 2016. Terima kasih sebab Anda betul- betul telah telat. Sekarang serba cepat. Semua orang mengalami busy, super sibuk. Digital population. Populasi digital. Kita sanggup mengalami the multiple stresses of an age of accelerations, if we slow dawn, if we dare to be late and use the time to reimagine work, politics, and community. Selanjutnya, terdapat beberapa hal yang perlu menjadi pemikiran kita untuk pengembangan dan peningkatan kualitas pendidikan tinggi kita. 1. Rendahnya Literasi Indonesia sudah 71 tahun merdeka. Tetapi berdasarkan data masih terdapat sekitar 5,9 juta warganya yang buta huruf. Jawa Timur mempunyai angka tertinggi buta aksaranya, sekitar 1.458.184. Meskipun mereka ini melek terhadap huruf arab gundul. Secara internasional, UNESCO melancarkan gerakan Reading the Past, Writing the Future. Agar warga dunia terbebas dari buta huruf ini. Pendidikan ialah senjata yang paling ampuh untuk mengubah dunia, kata Nelson Mandela. Kita harus melaksanakan terobosan untuk menghapus buta huruf ini. Dan patut dicatat, buta huruf melanda hampir semua negara- negara berkembang dan masyarakat muslim. Buta huruf atau literasi masih menjadi dilema yang masif melanda dunia muslim. Rata- rata wilayah yang lebih dikenal sebagai "Bulan Sabit" masih mengalami problem rendahnya literasi. 2. Pendidikan Karakter Dewasa ini kita menyadari betapa pentingnya memasukkan pendidikan karakter dalam kurikulum. Setidaknya ada tiga landasan pendidikan karakter ( character-building education). yakni: (a)memasukkan nilai-nilai humanisme, ibarat saling menghargai dan menghormati antar sesama. Jepang barangkali bisa menjadi teladan dalam pendidikan karakter yang dimulai semenjak pendidikan usia dini. Halmana tradisi dan nilai- nilai luhur mereka tidak tergerus oleh modernitas. Integritas, kejujuran, tanggung jawab, menghormati yang lebih senior, sportifitas, nilai aib terintegrasi dalam kurikulum pendidikan mereka. b) menyebarkan karakter keilmuan, yakni dengan membuat curiosity, rasa ingin tahu yang tinggi ( search of inquiry), sehingga ilmu, kreatifitas dan penemuan berkembang; dan (c) menanamkan kecintaan dan pujian kepada Indonesia. 3. Integrasi Ilmu. Mengapa harus ada kedokterandan prodi prodi non agama di kemenag. Transformasi ke Universitas, harus meyakinkan dua hal: a. Tidak "endown grade" kajian kajian keislaman b. Distingsi integrasi keilmuan. Ini ciri khas kami. Setiap UIN yang ada ialah amanah untuk menyebarkan epistemologi integrasi ilmu. Karya- karya penerjemahan tersebut meliputi filsafat, kedokteran, dan sains. Lahirlah filosof muslim, dokter, dan saintis ibarat al- Kindi (w. 873), al- Farabi (w. 950), Ibnu Sina ( Avicenna, w. 1037), Ibnu al Haytham (w. 1039), al- Biruni (1.000-1050), dan Ibnu Rusyd ( Averroes, w. 1198). Proses penerjemahan karya- karya Yunani kuna ke dalam bahasa Arab dimulai di Baghdad pada selesai kurun ke 8 hingga permulaan kurun ke 11 M. Patut dicatat bahwa dalam proses penerjemahan ini, filosof Muslim telah berjasa membangkitkan tradisi akademik Yunani Kuna sehabis berabad- kurun lamanya karam dalam "rawa-rawa" sejarah. Selanjutnya, perdebatan teologis dan pengayaan pengembangan doktrin- kepercayaan dalam Islam juga berkait kelindan dengan Helenisme ini. Dalam kaitan ini, tradisi akademik dan filsafat di kalangan Iran perlu diapresiasi. Sebab, tradisi filsafat di Persia ( Iran) tidak pernah berhenti hingga sekarang. Berbeda dengan Arab dan terutama tradisi sunni, pasca Imam al- Ghazali, kajian- kajian filsafat cenderung " meredub". Para filosof muslim, dokter, dan ilmuannya melaksanakan "quantum leap" yang melampai tradisi akademik sebelumnya. Mereka membangun " the Bridge" keilmuan yang melahirkan renaisan Islam. Selanjutnya, temuan- temuan spektakuler saintis muslim dikembangkan di Barat hingga cukup umur ini. Prof Salim T.S al Hassani, 1001 Inventions: the Enduring Legacy of Muslim Civilization, 2012 menulis bahwa kemajuan sain dan teknologi di dunia muslim sungguh luar biasa. Bendungan, menara, kamar mandi, kompas, karpet, universitas, kertas, kincir angin, jam dsb ialah temuan temuan keilmuan spektakuler yang dikembangkan bahkan " diakui" Barat. Kamar mandi bukanlah temuan Thomas Crapper. Tetapi dimulai dari Romawi dan Bizantium, kemudian dikembangkan di Baghdad. Berikutnya di Turki. Iran bisa berbangga sebab bisa membangun Museum Karpet yang masih menyimpan ratusa model karpet dari zaman ke zaman. Ada juga Bendungan See syeh pool di Isfahan masih merupakan cagar budaya dunia yang mencengangkan. Singkatnya, integrasi ilmu ialah amanah Undang- Undang nomor 12 tahun 2012 wacana pendidikan tinggi. Integrasi ilmu harus menjadi perhatian bersama, dan telah mempunyai legitimasi historis, dan landasan filosofis serta epistemologis yang kuat. Tantangan kita ialah menerjemahkannya dalam sebuah kurikulum yang komprehensif di PTKI. 4. Current Issues Pendidikan Tinggi Barangkali untuk pengembangan Pendidikan Tinggi di Indonesia, realitas berikut sanggup menjadi materi pemikiran. (1). Mobilitas dosen antar Universitas di Indonesia, dosen cenderung pensiun di tempat. Mereka rata- rata tidak mengalami pengalaman mengajar di daerah lain. Bahkan tragisnya, terkadang ada dosen yang mengajarkan mata kuliah di luar kompetensinya hanya sebab alasan pemenuhan BKD. Ada juga dosen mempunyai keahlian dan kepakaran tertentu, tetapi bergotong-royong sangat diharapkan oleh perguruan tinggi lain. Sehingga perlu kebijakan komprehensif untuk melaksanakan migrasi dosen dalam waktu tertentu biar terjadi distribusi kepakaran secara merata. Dan tidak menumpuk pada perguruan tinggi tertentu. (2). Tantangan pendidikan di era MEA. New Think Asean, kata Philip Kotler. Asean sulit diprediksi. Ada banyak pemain gres dalam seluruh sektor, ekonomi, politik, pendidikan dan budaya. Asean kini sudah sangat berbeda dengan 20 tahun yang lalu. MEA ialah peluang pasar bagi Indonesia. Tantangan kita, (a). Masalah bahasa. (b). Mobilitas mahasiswa, dosen dan peneliti. Kedua tantangan ini bisa dilakukan international summer program, lecturer/ researcher exchange program, joint risearch, joint seminar, dst. (c). Menyehatkan PTN- Perguruan Tinggi Swasta Ada sepuluh PT terbaik Amerika. Semuanya Perguruan Tinggi Swasta dan dibiayai oleh donatur kaya. Universitas Harvard mempunyai dana infinit sebanyak Rp. 473,2 triliun. Donatur Dari filantropis kaya semacam Rockefeller, John F Kennedy, dan Melinda Gates banyak investasi untuk pendidikan dan kesehatan. Di Indonesia kita sulit mendapatkan orang kaya ibarat itu. Perguruan Tinggi Swasta kita secara nasional banyak yang sakit- sakitan. Dari 3.078 PTS, gres 111 (3,6%) mengajukan ratifikasi institusi. Itupun gres 4,5% yang bisa terakreditasi B, dan selebihnya C. Masih ribuan yang belu mengajukan akreditasi. Mengerikan. Sementara ada 70% mahasiswa Indonesia kuliah di PTS. Ditambah lagi, dengan 1/3 Perguruan Tinggi Swasta yang masih luhur dan bersikukuh dalam menjalankan misi PT. Selebihnya, Perguruan Tinggi Swasta dijadikan sebagai pundi- pundi income oleh pendirinya. Ada juga untuk kepentingan bisnis, kepentingan langsung sebagai sumber dana kampanye, dst. Perguruan Tinggi Swasta sulit mendapatkan izin prodi yang laris- manis ibarat Prodi Ilmu Kedikteran dan semua turunannya. Dosen Perguruan Tinggi Swasta juga hanya sedikit yang bisa berfungsi sebagai dosen. Padahal untuk melaksanakan tridharma, PT sangat membutuhkan dosen yang bermutu, laboratorium, perpustakaan yang lengkap, proses mencar ilmu mengajar yang maju. Sehingga kita bisa melahirkan lulusan yang terampil dan berdaya saing. ( Elfindri, Kompas, 4 maret 2016). (d).Pengembangan bidang ilmu. Data Forlap Kemenristek Dikti (2016), jumlah prodi sebanyak 23.747. Sains dan teknik yang meliputi MIPA, teknik, kedokteran, kesehatan, dan pertanian. Selebihnya ilmu- ilmu sosial dan humaniora, ibarat ekonomi, politik, hukum, sosiologi, antropologi, sejarah, filsafat, dan agama. Jumlah prodi sains- keteknikan lebih sedikit dibanding ilmu sosial dan humaniora. Sains keteknikan sebanyak 10.135 prodi sekitar 43%. Dan ilmu sosial dan humaniora sebanyak 57% ( 13.611). Dari jumlah mahasiswa sebanyak 5. 228.562, yang menekuni sains keteknikan hanya 1.593.882(30,5 persen). Dan mereka yang menekuni bidang ilmu sosial dan humaniora sebanyak 3. 634.679(69,5 %).Sehingga terjadilah ketimpangan. Terjadilah inflasi sarjana ilmu-ilmu sosial humaniora. Lebih banyak " pengamat" daripada ahli. Defisit sarjana teknik tak terhindarkan. Indonesia kekurangan insinyur. Diperkirakan tahun 2015-2025, kita kekurangan insinyur sekitar 15 ribu pertahun. Pada tahun 2020-2025 kita membutuhkan insinyur sebanyak 90.500 pertahun. Fenomena Menguatnya Conservative Turn? Agama: rahmat dan "bencana"? Dalam studi agama-agama, memang biasa kita mendengarkan ungkapan bahwa agama itu mempunyai dua sisi. Yakni sisi perekat sosial dan sekaligus "pemecah". Dengan agama dengan konsep keumatannya sanggup menjadi "kohesi" sosial yang sangat kental. Sebaliknya, dengan fatwa agama yang dipahami dalam aspek tertentu, agama sanggup menjadi pemicu konflik sosial. Contoh kecil, apabila ada orang yang "berpindah" agama, maka hak-hak dalam keluarganya secara otomatis "terputus" termasuk hak waris. Ada hadis yang berbunyi: la yarithu al-muslim al-kafir.Wa la al-kafir al-muslim. Seorang muslim dihentikan mendapatkan dan memberi harta waris dari dan kepada seorang kafir. Demikian sebaliknya. Kalau ada kelompok keluarga yang kebetulan keluar Islam dan memeluk agama lain, atau yang bersangkutan "murtad"--tentu dengan aneka macam pandangan wacana murtad ini--, maka dia secara otomatis terputus hak-hak kewarisannya. Bagaimana ini? Sebaliknya, jika ada orang kafir atau komunitas lain yang memeluk Islam, maka tanggung jawab sosialnya menjadi tanggung jawab "umat", komunitas muslim. Mereka biasa menyebutnya sebagai "muallaf". Bahkan muallaf ini menjadi salah satu golongan peserta zakat (dari delapan kelompok/ thamaniyat ashnaf). Charles Kimball menulis buku dengan judul: When Religion Becomes Evil, 2008. Buku ini sudah diterjemahkan oleh Nurhadi dan Izzuddin Washil dengan judul: Kala Agama Makara Bencana, Mizan, 2013. Buku ini menarik sebab merangkum perjalanan panjang penulisnya yang sudah melanglang buana dalam studi agama-agama besar dunia. Kimball, penulisnya merisaukan konflik agama dan munculnya ektrimisme dalam agama-agama besar dunia, termasuk Islam. Ada fenomena menarik dan kita sulit memahami mengapa sunny-syi'ah di Iraq masih saja saling bunuh-bunuhan? Mengapa gerakan Hizbut Tahrir, Taliban, dll masih saja berkembang subur? Mungkin inilah faktor mengapa gerakan atheisme-intelektual semakin tumbuh subur juga, ibarat Christopher Hitchen dengan karyanya: God is not Great: How Religion Poison Everything (2007), Richard Dawkins, The God Delusion (2006), Sam Harris, The End of Faith (2004), dst. Dulu, kita hanya gelisah dengan karya-karya Karl Max, Das Kapital, Nietzhe, Zaratustra, Charles Darwin, The Origins of the Species, dll. Agama-agama besar dunia harus berbenah diri. Kalau tidak, agama-agama besar dunia akan ditinggalkan. Belakangan, kita melihat gerakan Karen Armstrong yang gencarnya mengkampanyekan "cinta kasih". Pengembaraan Armstrong yang panjang dalam menggeluti studi agama-agama besar dunia ibarat Katolik, Yahudi, Budhdha dan Islam, mengantarkannya untuk beropini bahwa ternyata kita harus segera menampilkan agama-agama pada masa Aksial. Masa Aksial ialah masa sekitar Nabi Ibrahim a.s. Di sanalah sisi-sisi agama yang paling otentik. Demikian pandangan dia dalam The Great Transformation. Bagaimana dengan PTKI? Kita harus menjawab tantangan- tantangan pengembangan pendidikan tinggi tersebut. Kita harus terus berinovasi untuk membuat peluang- peluang baru. Penguatan ratifikasi prodi dan institusi harus menjadi konsern pimpinan perguruan tinggi. Peningkatan kualitas dosen ialah sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi. Publikasi ilmiyah harus terus digenjot biar kita mendapatkan recognition, pengakuan baik nasional, regional ASEAN maupun internasional. Pemenuhan infrastruktur kampus harus terus dibenahi biar civitas akademik bisa betah menyebarkan ilmu dan proses pembelajaran di kampus. Kampus yang ikonik harus kita bangun yang akan menjadi pujian Kemenag dan bangsa kita. PTKI harus berdiri pada garis terdepan dalam menyuarakan moderasi Islam. Pimpinan PTKI harus tegas menolak bentuk- bentuk gerakan dan acara radikalisme agama yang berujung pada pelemahan pilar- pilar bangsa. Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Wa Allah a'lam bi al- shawab.
Advertisement