Sabtu yang cerah di bulan Januari ini mengantarkan saya dan Blogger Cihuy ke Pulau Pahawang. Untuk menuju ke Pulau Pahawang Besar kami perlu menyebrang melalui dermaga Ketapang. Dengan penuh doktrin dan mengenakan baju warna seragam yaitu biru, secerah hari itu dan secerah kebersamaan kami Blogger Cihuy yang berjumlah 18 orang (15 remaja dan 3 anak) menuju dermaga Ketapang. Butuh waktu sekitar 2 jam dari penginapan menuju ke dermaga. Kami ditemani oleh 5 life guard dalam perjalanan kami, tim dokumentasi dengan peralatan camera bawah bahari dan drone.
Sebelum melaksanakan penyebrangan dianjurkan untuk mengisi perut terlebih dahulu alias makan. Beruntung kami menerima nasi box dari Kanya Djausal yang menyambut kami disana dan memperlihatkan briefing mengenai menjaga kebersihan bahari bersama. “Bahwa siapapun yang membuang sampah sembarangan harus memungutnya kembali, sekalipun dengan sengaja membuangnya ke bahari maka orang itu harus terjun berenang untuk mengambil kembali sampahnya,” tegas Mayang. Hal ini dilakukan untuk menjaga keasrian dan keaslian alam sekitar. Seketika kamipun melihat sekeliling dan bertekad selama perjalanan untuk tidak membuang sampah sembarangan yang memang sudah seharusnya untuk tidak dilakukan.
Pemandangan awal di dermaga |
Kami kemudian menyebrang memakai bahtera kayu dengan kapasitas penumpang 9-12 orang. Perahu itu berjulukan Lestari. Bersama Lestari 1 dan 2 kami mengarungi lautan dari dermaga 2 Ketapang menuju Pahawang besar. Sebelum menuju ke Pulau Pahawang Besar kami sempat berhenti di dua spot. Di spot pertama kami menerima kesempatan snorkling dan diambil foto dalam air dengan tanda Pahawang didalam laut. Beberapa diantara kami snorkling beregu alasannya ada yang tidak sanggup berenang. Di spot kedua saya bersama 4 orang Blogger Cihuy menikmati wahana banana boat. Terik matahari tidak ada artinya dikala itu bagiku. Setiap momennya harus dinikmati.
doc.tim dokumentasi |
Tak usang tibalah kami di Pulau Pahawang yang aslinya berjulukan Puhawang. Nama kawasan pelarian masyarakat Lampung dari serangan Belanda. Kami beristirahat di Desa Jelarangan di sebuah resort milik Ari Nanda Djausal yang sedang dalam proses pembangunan. Ari Djausal yaitu saudara kandung dari Kanya Djausal yang juga sebagai Ketua Lampung Diving Club. Kami diperkenalkan oleh tim Lampung Diving Club (LDC) dikala itu.
Lampung Diving CLub
Menurut Ari, LDC mempunyai tujuan untuk mencari diver (penyelam diving) gres yang sanggup membantu sosialisasi wacana adanya LDC dan pariwisata bawah laut. LDC dikala ini sudah mempunyai 26 anggota dan untuk mengetahui informasinya sanggup dilihat di media umum @lampungDiveClub. Saat bincang ringan dikala itu ada duduk bersama kami yaitu Bapak Sinek Kurniawan, Sang Master Diver yang sudah 37 tahun menyelam. Beliau dari kecil sudah hidup di bahari dan tidak lepas dari menyelam.
Untuk menjadi seorang diver handal diharapkan 2 lisensi dan sertifikasi diver yang diakui oleh POSI (Persatuan Olahraga Selam Indonesia). Lampung Diving Club membuka training dan trip bersama LDC. Pelatihan dilakukan selama 4 hari yang terbagi 1 hari terori, 2 hari praktek di kolam, dan 1 hari praktek di laut. Untuk trip bersama LDC hanya seharga 300 ribu.
Selepas bincang ringan bersama Kanya Djausal, Ari Djausal, dan Sinek, kami menuju spot yang lebih manis pemandangannya. Tidak jauh dari kami ada kapal yang berisi tim LDC. Beberapa dari kami turun kembali untuk snorkling menikmati pemandangan bawah air. Bahkan ada yang sanggup bersentuhan eksklusif dengan bintang laut. Tim diving mulai melaksanakan diving sedalam 12 meter dan dengan rute yang berbeda dengan kami yang hanya di satu titik saja.
Puas snorkling kami kembali ke dermaga Ketapang dan mengakhiri hari itu dengan mengucap syukur sebesarnya. Hari itu sangat menyenangkan untuk kami. Bahagia bersama, menikmati alam dan mensyukuri kebesaran Tuhan SWT. Menjaga alam yaitu tanggungjawab bersama. Kalau bukan kita siapa lagi.-RGP-
Advertisement