Mark Kurlansky dalam sebuah buku teranyarnya menulis sebuah tema menarik, yakni " The Islamic Birth of Literacy". Di awal tulisan, Mark menjelaskan abjad Zahrazad, gadis jelita dalam novel Alfu Lailah wa Lailah, kisah seribu satu malam. Zahrazad digambarkan mempunyai kecerdasan, keberanian, dan penetrasi ( pengaruh). Ia menghafal seluruh bacaan yang telah dibacanya. Ia mempunyai keberanian untuk mengambil resiko, kematian sekalipun. Novel Arabian Nights inilah yang menginspirasi gadis- gadis Arab bahkan terbaca oleh jutaan umat manusia. Novel ini demikian melegenda hingga kini ini. Lebih lanjut Kurlansky menjelaskan bahwa kemunculan Islam justeru memberi perhatian besar bagi perkembangan industri kertas (Paper Paging Through History, 2016). Bahkan kata qirtas disebut dalam al- Qur'an. Industri kertas terbesar dimulai di kota Samarkand atas jasa tentara China yang ditawan oleh tentara Arab. Dalam sejarah peradaban insan telah terjadi bencana penghancuran buku dari kasa ke masa. Pembakaran buku karya ulama dan cerdik berakal yakni fenomena ajeg sepanjang masa. Karya Ibn Rusyd, (1126-1198) juga pernah dibakar. Kitab- kitab milik Hujjatul Islam, imam al- Ghazali juga pernah dirampar perampok. Karya Hamzah Fansuri dibakar di halaman Masjid Baiturrahman, Banda Aceh atas provokasi Syeikh Nuruddin al- Raniry. Dan yang sangat tragis penghancuran buku oleh tentara Mongol di kota Baghdad. Sungai Tigris menghitam dengan tinta kitab- kitab karya ulama dan cerdik cendekia. Tragedi pembakaran buku karya Ibn Rusyd dikisahkan sebagai berikut: When zealous muslims burnt the books of Averroes, a disciple of his began to weep. Averroes said to his student, My son, if you are lamenting the condition of the muslims, then tears equal to the seas will not suffice. If you are crying for the books, then know that ideas have wings and transcend aeons to reach the minds of thinking people. Ketika sekelompok muslim sangat bersemangat mengkremasi kitab karya Ibn Rusyd, salah seorang murid dia mulai menangis. Ibn Rusyd berkata kepada muridnya itu, Anakku, bila engkau menyesali kondisi umat Islam ini, kemudian air matamu sama dengan air laut, itu pun tidak sepadan. Yang patut engkau tangisi yakni nasib buku- buku itu, kemudian mengetahui ide-ide yang sesungguhnya mempunyai bersayap dan bisa terbang melampaui berabad- kurun lamanya yang mencapai pikiran orang banyak. Era kini terutama gerakan Wahabi di Saudi telah terjadi "pembersihan" buku. Buku- buku tertentu diedit (ditahqiq) dan diberi notasi sedemikian rupa. Ada kata yang dihilangkan semoga berkesesuaian dengan ideologi tertentu. Karya- karya Ibn Taimiyah banyak "dibersihkan". Dari sini pentingnya merawat manuskrip karya- karya ulama semoga otentisitas ajaran beliau- dia tetap terjaga. Comference of the Book, the search for beauty in Islam, musyawarah buku, mencari keindahan Islam lewat buku. Itulah buku karya Prof Khaled Abou El Fadl, pemikir muslim kontemporer. Khaled menerawang lewat buku- buku yang menghiasi perpustakaan pribadinya. Beliau membayangkan betapa buku merupakan anugerah Tuhan yang tak ternilai harganya. Buku bisa melestarikan ajaran dan menjaga nalar sehat. Buku bisa mencerahkan masa depan peradaban manusia. Khaled sangat menikmati "musyawarah buku". Di dinding kamarnya, karya Imam Fakhruddin al Razy (w. 1210) yang kaya berjejer dengan karya Abu Ishaq al- Zirazy ( w 1083) yang hidup melarat. Imam Jalaluddin al- Suyuthy, digelari ibn al- kutub," si anak buku" alasannya yakni terlahir di atas tumpukan buku. Selama hidupnya hanya fokus melahirkan karya- karya monumental. Ia menolak jabatan yang penuh godaan. Ia menulis kitab Tafsir Jalalain di samping Tafsir al- Durr al- Mantsur yang masyhur itu. Ia juga menulis kitab hadis Tadrib al- Rawy, Syarh al- Taqrib al- Nawawy. Pesan keindahan Islam dimulai dari buku ( al-kitab, al- Qur'an). Dari al- Qur'an lahirlah sebuah peradaban dunia. Saya pernah membaca pandangan Umberto Eco penulis novel The Name of the Rose wacana penting dan makna kehadiran sebuah buku. Buku telah terbukti membangun peradaban dunia. Buku sanggup mengumpulkan serpihan-serpihan sejarah kemanusiaan yang panjang. Buku juga memperpendek jarak waktu. Lewat buku pikiran para filosof Yunani kuno sanggup dibaca dalam sebuah buku pengantar filsafat. Seakan-akan tidak ada jarak antara masa kemudian Yunani dengan waktu sekarang. Oleh alasannya yakni itu, bagi Umberto Eco meskipun era kini yakni era digital, peradaban buku masih tetap tak terkalahkan. Membaca sebuah buku mempunyai kelebihan. Yakni, buku sanggup membawa pembacanya lebih fokus kepada kebutuhan maksud membaca sebuah topik. Sedang membaca lewat digital library, apalagi lewat Internet akan menggaggu konsentrasi pembaca terhadap informasi lainnya yang juga disuguhkan pada ketika yang bersamaan. Buku juga tidak mengakibatkan radiasi, tentu berbeda dengan membaca lewat digital library akan memengaruhi kemampuan daya tahan baca seseorang. Hal ini bukan berarti digital library atau electronic book's tidak penting. Umberto Eco mempunyai seperangkat komunikator untuk membantu dia dalam mencerap ide dan gagasan-gagasan baru. Lebih lanjut Nicholas Carr, menulis buku yang cukup inspiratif dengan judul: The Shallows: What the Internet is Doing to Our Brains, 2011. Nicholas Carr mengingatkan kita bahwa internet sanggup mendangkalkan cara berpikir kita. Internet memang menyajikan informasi serba cepat, tapi kita akan kehilangan fokus dan kedalaman perenungan. Internet juga menyajikan banyak informasi dalam waktu bersamaan, tapi sekaligus sanggup mengalihkan kita kepada informasi yang sesungguhnya tidak sedang kita cari. Internet memang memberi banyak kemudahan, tapi Nicholas tetap merekomendasikan membaca buku cetak alasannya yakni sanggup memfokuskan kita untuk berpikir kreatif dan mengalami perenungan yang mendalam. Dalam Bukuku Kakiku yang diedit oleh St. Sularto memuat banyak pengalaman tokoh-tokoh terkemuka. Ada pengalaman Ajip Rosidi: Buku dalam Hidup Saya, Prof. Azyumardi Azra: Membaca dan Menulis, Sebuah "Personal Account", Benjamin Mangkoedilaga: Ortu, Guru, dan Buku, Budi Darma: Memperhitungkan Masa Lampau, Daoed Joesoef: Budaya Baca, Prof. Franz magnis-Suseno: Bukuku Surgaku, Rosihan Anwar: Dengan Buku Menjadi Otodidak Sepanjang Hayat, Sindhunata--sastrawan--: Ambil dan Bacalah, Prof. Taufik Abdullah--sejarawan--: Sekolah, Buku, dan Seuntai Kenangan, Prof. Yohanes Surya: Pengalamanku dengan Buku. Dalam buku tersebut Prof. Sadli mengkritik, kalau internet sudah menyiapkan informasi yang overload, para dosen juga lebih bahagia membaca laporan koran dan majalah, kemudian siapa lagi yang akan membaca buku? Padahal, kata Prof. Franz Magnis-Susesno, dengan membaca seseorang sanggup melaksanakan "pelepasan". jadi, membaca bukan hanya untuk menambah wawasan dan cakrawala seseorang, tapi lebih dari itu. Banyak tokoh dari banyak sekali latar profesi terlahir alasannya yakni buku. Franz Magnis tumbuh menjadi tokoh dan filosof berkat ketekunan ibunya bercerita menjelang tidur. Di rumah orang tuanya "disesaki" dengan buku-buku. H.B.Jassin, seorang kritikus sastra yang sangat disegani, rumahnya juga "dipenuhi" dengan buku. Pemandangan di rumah H.B. Jassin "sumpek" dengan buku, bahkan hingga di dapurnya juga ada buku. Sampai suatu waktu, Pak Ali Sadikin, Gubernur DKI jakarta mengusulkan semoga buku-buku H.B. jassin disimpan di Taman Ismail Marzuki. Dulu, sewaktu masih kuliah di Makassar saya mendengar dongeng wacana kedatangan Dr. H.M. Quraish shihab dari al-Azhar, Mesir. Konon, dia membawa sekian ton buku dari Mesir. Waktu itu, tentu merupakan sesuatu yang istimewa seorang doktor jebolan al-Azhar pulang membawa gelar doktor berikut dengan buku-bukunya. Buku masih merupakan sesuatu yang sangat urgen bagi keberlangsungan pengembangan keilmuan dan bahkan peradaban. Mengenai buku, kalau kita piknik ada hal yang menarik. Biasanya, para turis mancanegara sebelum berangkat ke kawasan tujuan wisata, mereka terlebih dahulu membagikan buku kepada belum dewasa dan anggota keluarganya. Kalau kita, biasanya begitu mau berangkat atau keluar kota, biasanya yang pertama kita perhatikan yakni persiapan logistik, apakah bekal dan masakan selama dalam perjalanan sudah siap atau tidak. Sangat berbeda bukan? Mestinya dari logistik ke logik, sebuah ide dari berkunjung ke Kota Konya, Hadhrat Maulana Jalaluddin Rumi. Semua anggota dan komunitasnya harus terlebih dahulu menuntaskan urusan logistik, dapur, gres bisa mengikuti "suluk" jalan tasawufnya. Buku merupakan anugerah Tuhan yang tak ternilai harganya Buku sanggup menjaga nalar sehat dan kewarasan Buku juga sanggup melipat waktu Sebaik- baik mitra yakni buku Buku gres yakni sumber energi kehidupan Buku yakni sumber ide Bagi pebisnis buku, buku bukan hanya media untuk mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi buku juga menjadi sumber pendapatan yang menggiurkan. Aku rela dipenjara, asal bersama dengan buku. Karena dengan buku saya bebas ( Bung Hatta).
Advertisement