Ilmu Fara'idh atau kewarisan Islam adaalh salah satu ilmu lenting dalam studi Islam. Hanya saja, pakar atau sarjana yang menekuni Hukum Kewarisan Islam ini sudah langka. Buku-buku kewarisan Islam juga tergolong buku langka. Dulu pernah terjadi perdebatan hangat dan menasional masa Prof Munawir Sjadzali menjadi Menteri Agama. Apalagi saat ia melemparkan tentang kewarisan Islam bagi perempuan dapat satu banding satu. Artinya, seorang perempuan alasannya alasan dan kondisi tertentu dapat mendapat hak waris sama dengan anak laki- laki. Kala itu, perdebatan sengit terjadi di kalang para ulama. Pandangan Prof Hazairin juga kembali mencuat. Makalah dan sejumlah buku bermunculan kolam jamur di animo hujan. Bahkan Prof Munawir juga dihujat dan dituduh macam- macam.
Kitab Sabil al Muhtadin karya alim al- 'allamah Syeikh Muhammad Arsyad al- Banjari juga mencuat. Dibahas dan dikaji. Bahkan ditulis ulang menjadi goresan pena dengan abjad latin. Sebab, kitab Sabil al Muhtadin ini ditulis oleh pengarangnya dengan abjad Arab- Melayu ( pegon).
Sekarang ini, rasa-rasanya aturan kewarisan Islam hilang dari peredaran. Ada yang nyeletuk, bahwa kewarisan Islam atau Ilmu Fara'idh tidak menarik lagi. Sebab, harta warisnya sudah habis dibagi. Barangkali juga banyak orang bau tanah yang menuntaskan pembagian harta waris dengan cara hibah. Sehingga, putera-puteri mereka tidak saling iri. Para orang bau tanah lebih pada melihat asas keadilan di antara anak- anak mereka. Barangkali juga alasannya kesadaran umat Islam terhadap aturan Ilsam sudah lebih memadai ketimbang kurun waktu sebelumnya. Bahwa dalam hal pembagian waris, kondisi Indoensia dan aturan keluarga bangsa Arab berbeda.
Pada umumnya di Arab, tanggungjawab utama ada pada anak laki- laki. Seumpama, seorang ayah meninggal, maka selurih tanggungjawab keluarga jatuh di bahu anak laki- laki terutama anak pertama. Tanggungjawab ini hingga mereka hidup mandiri. Makara wajarlah jikalau anak pria mendapat dua kali lipat dari anak perempuan. Makara terkait dengan beban keluarga yang harus mereka pikul.
Hal ini tentu tidak semua suku dan wilayah sama. Hukum keluarga termasuk aturan waris harus mempertimbangkan lokus tempusnya.
Dalam kaitan ini, Prof David Stevan Powers menulis buku yang cukup representatif. Judul bukunya: Studies in al- Qur'an and Hadith: The Formation of the Islamic Law of Inheritance. Buku ini juga sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan judul Peralihan Kekayaan dan Politik Kekuasaan, Kritik Historis Hukum Waris, (LKiS, 2001).
Buku ini ada banyak hal yang dikritik David Powers. Antara lain, bahwa aturan kewarisan Islam belum dipraktekkan pada masa Nabi shalla Allah 'alaih wa sallama dan para sahabatnya. Praktek aturan kewarisan Islam terjadi pada masa tabi'in.
Pujian, kritik dan bahkan somasi banyak bermunculan.
Kitab Sabil al Muhtadin karya alim al- 'allamah Syeikh Muhammad Arsyad al- Banjari juga mencuat. Dibahas dan dikaji. Bahkan ditulis ulang menjadi goresan pena dengan abjad latin. Sebab, kitab Sabil al Muhtadin ini ditulis oleh pengarangnya dengan abjad Arab- Melayu ( pegon).
Sekarang ini, rasa-rasanya aturan kewarisan Islam hilang dari peredaran. Ada yang nyeletuk, bahwa kewarisan Islam atau Ilmu Fara'idh tidak menarik lagi. Sebab, harta warisnya sudah habis dibagi. Barangkali juga banyak orang bau tanah yang menuntaskan pembagian harta waris dengan cara hibah. Sehingga, putera-puteri mereka tidak saling iri. Para orang bau tanah lebih pada melihat asas keadilan di antara anak- anak mereka. Barangkali juga alasannya kesadaran umat Islam terhadap aturan Ilsam sudah lebih memadai ketimbang kurun waktu sebelumnya. Bahwa dalam hal pembagian waris, kondisi Indoensia dan aturan keluarga bangsa Arab berbeda.
Pada umumnya di Arab, tanggungjawab utama ada pada anak laki- laki. Seumpama, seorang ayah meninggal, maka selurih tanggungjawab keluarga jatuh di bahu anak laki- laki terutama anak pertama. Tanggungjawab ini hingga mereka hidup mandiri. Makara wajarlah jikalau anak pria mendapat dua kali lipat dari anak perempuan. Makara terkait dengan beban keluarga yang harus mereka pikul.
Hal ini tentu tidak semua suku dan wilayah sama. Hukum keluarga termasuk aturan waris harus mempertimbangkan lokus tempusnya.
Dalam kaitan ini, Prof David Stevan Powers menulis buku yang cukup representatif. Judul bukunya: Studies in al- Qur'an and Hadith: The Formation of the Islamic Law of Inheritance. Buku ini juga sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan judul Peralihan Kekayaan dan Politik Kekuasaan, Kritik Historis Hukum Waris, (LKiS, 2001).
Buku ini ada banyak hal yang dikritik David Powers. Antara lain, bahwa aturan kewarisan Islam belum dipraktekkan pada masa Nabi shalla Allah 'alaih wa sallama dan para sahabatnya. Praktek aturan kewarisan Islam terjadi pada masa tabi'in.
Pujian, kritik dan bahkan somasi banyak bermunculan.
Advertisement