Suatu hari aku mendampingi Dr. H.M Suparta yang waktu itu menjabat sebagai Inspektur Jenderal Kementerian Agama RI. Ada sekitar 11 orang anggota senat sebuah sekolah tinggi tinggi ternama dari Sumatera. Mereka mengajukan mosi tidak percaya kepada rektornya. Perdebatan dimuali. Profesor yang paling senior yang memulai pembicaraan. Dari awal hingga final sang profesor mengkritik habis-habisan sang rektor. Isu nepotisme salah satu yang mencuat.
Hal yang menarik, sang rektor duduk tersenyum kecut, dan seolah-olah dingin dengan kritik yang dilontarkan oleh rivalnya. Sang rektor tenang- hening saja. Saya mengamati dan mencatat semua pembicaraan tersebut. Sesekali pak Suparta menyela dan melontarkan humor untuk mencairkan suasana.
Geli juga rasanya mendengarkan perseteruan para guru besar itu. Setelah program selesai, sekitar pukul 13, aku berbisik kepada pak rektor. Siapa yang membiayai mereka ini semua. Dengan enteng pak rektor menjawab, ya saya! Astagfirullh, aku eksklusif istighfar. Saya tidak pernah menyangka bahwa seorang rektor yang baik hati dicaci- maki oleh bawahannya di depan petinggi Jakarta. Saya tidak dapat membayangkan, apa yang ada dalam benak para rivalnya itu. Kekuasan? Marwah? Dan apalagi?
Konon, sang rektor memang dikenal dengan kebijakannya yang nepotisme. Beliau sering mengangkat pejabat yang berkatar belakang sedaerahnya. Setelah aku konfirmasi, memang orang- orang dari wilayahnya yang mempunyai kompetensi untuk menduduki jabatan tertentu. Konflik sewaktu- waktu dapat ditolerir. Tetapi bila sudah tidak terkendali, maka konflik akan menghambat kemajuan. Tidak ada hangsa yang dapat bertahan usang dalam suasana konflik.
Hal yang menarik, sang rektor duduk tersenyum kecut, dan seolah-olah dingin dengan kritik yang dilontarkan oleh rivalnya. Sang rektor tenang- hening saja. Saya mengamati dan mencatat semua pembicaraan tersebut. Sesekali pak Suparta menyela dan melontarkan humor untuk mencairkan suasana.
Geli juga rasanya mendengarkan perseteruan para guru besar itu. Setelah program selesai, sekitar pukul 13, aku berbisik kepada pak rektor. Siapa yang membiayai mereka ini semua. Dengan enteng pak rektor menjawab, ya saya! Astagfirullh, aku eksklusif istighfar. Saya tidak pernah menyangka bahwa seorang rektor yang baik hati dicaci- maki oleh bawahannya di depan petinggi Jakarta. Saya tidak dapat membayangkan, apa yang ada dalam benak para rivalnya itu. Kekuasan? Marwah? Dan apalagi?
Konon, sang rektor memang dikenal dengan kebijakannya yang nepotisme. Beliau sering mengangkat pejabat yang berkatar belakang sedaerahnya. Setelah aku konfirmasi, memang orang- orang dari wilayahnya yang mempunyai kompetensi untuk menduduki jabatan tertentu. Konflik sewaktu- waktu dapat ditolerir. Tetapi bila sudah tidak terkendali, maka konflik akan menghambat kemajuan. Tidak ada hangsa yang dapat bertahan usang dalam suasana konflik.
Advertisement