Tangkas sudah jarang kita dengar di dunia pendidikan. Padahal, ketangkasan merupakan syarat utama dalam persaingan global. Ketangkasan atau kecakapan dalam berkomunikasi dengan komunitas dunia sangat penting. Cross cultural studies sangat penting diajarkan pada pendidikan tinggi kita. Sebab, duduk kasus budaya sangat memilih dalam memuluskan komunikasi. Tanpa pengetahuan budaya yang memadai, seseorang sulit melaksanakan komunikasi antar budaya. Berbisnis dengan orang Jepang, harus mengerti budayanya. Bernegosiasi dengan orang China, India dan Arab, atau siapa pun juga harus paham budaya dan tradisi mereka.
Orang Jepang, bila kita melaksanakan transaksi bisnis, biasanya banyak diam. Mereka menyimak jalan pikiran dan sasaran kita. Tetapi, begitu kesepakatan sudah diputuskan, maka kita harus menjalaninya. Sebab, mereka lebih cenderung untuk mempraktikkan kepemimpinan kolegial. Begitu kesepakatan sudah diambil, maka harus dijalankan. Apap pun resikonya.
Dalam kontek perguruan tinggi, semestinya para mahasiswa diajarkan " global dexterity", ketangkasan global. Sehingga. mereka kelak tidak canggung dengan orang luar. Dalam situasi apa pun mereka sanggup berinteraksi produktif. Mereka bisa mendongakkan kepala sejajar dengan bangsa lain.
Itulah sebabnya, sehingga mereka harus dibekali dengan kemampuan bernegosiasi. Cross cultural studies juga diajarkan kepada para mahsiswa, apa pun aktivitas studi yang ditekuninya.
Sebagai "warga dunia", kita bekerjsama sudah menjadi "pekerja pada tingkat dunia" ( a global worker) -- meminjam istilah Andy Molinsky dalam bukunya Global Dexterity, (2013).
Tidak ada lagi kualitas lokal. Tidak ada lagi toleransi untuk menawar standar akademik. Meskipun kita berada di daerah, kualitas harus tetap dijaga. Jangan hingga perguruan tinggi melahirkan sarjana ÿang tidak bisa bunyi". Ada gambar, tetapi tidak ada suara.
Orang Jepang, bila kita melaksanakan transaksi bisnis, biasanya banyak diam. Mereka menyimak jalan pikiran dan sasaran kita. Tetapi, begitu kesepakatan sudah diputuskan, maka kita harus menjalaninya. Sebab, mereka lebih cenderung untuk mempraktikkan kepemimpinan kolegial. Begitu kesepakatan sudah diambil, maka harus dijalankan. Apap pun resikonya.
Dalam kontek perguruan tinggi, semestinya para mahasiswa diajarkan " global dexterity", ketangkasan global. Sehingga. mereka kelak tidak canggung dengan orang luar. Dalam situasi apa pun mereka sanggup berinteraksi produktif. Mereka bisa mendongakkan kepala sejajar dengan bangsa lain.
Itulah sebabnya, sehingga mereka harus dibekali dengan kemampuan bernegosiasi. Cross cultural studies juga diajarkan kepada para mahsiswa, apa pun aktivitas studi yang ditekuninya.
Sebagai "warga dunia", kita bekerjsama sudah menjadi "pekerja pada tingkat dunia" ( a global worker) -- meminjam istilah Andy Molinsky dalam bukunya Global Dexterity, (2013).
Tidak ada lagi kualitas lokal. Tidak ada lagi toleransi untuk menawar standar akademik. Meskipun kita berada di daerah, kualitas harus tetap dijaga. Jangan hingga perguruan tinggi melahirkan sarjana ÿang tidak bisa bunyi". Ada gambar, tetapi tidak ada suara.
Advertisement