Guru Berpolitik, Boleh atau Tidak? |
ppkn.guruindonesia.id - Tahun 2019 yakni tahun politik, dimana Indonesia yang merupakan Negara dengan Menganut sistem Demokrasi akan berpesta menentukan dan menentukan siapa pemimpin negara ini kelak. Semua pihak dan elemen masyarakat terlibat dalam pesta Demokrasi 2019 ini, tidak di pungkiri salah satunya yakni dunia pendidikan. Walaupun dalam peraturannya bahwa dunia pendidikan tidak boleh terlibat pribadi dalam politik praktis, akan tetapi dunia pendidikan menjadi sasaran utama bagi para politisi-politisi di negara ini.
Ketua Dewan Pengawas Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti menyampaikan guru masih menjadi sasaran komitmen politik. Salah satu sebabnya, bunyi mereka sanggup menghipnotis murid-muridnya di Sekolah.
Dalam masa kampanye ini pasangan calon capres-cawapres berusaha meraih simpati guru demi perolehan bunyi dalam pemilu mendatang. Misalnya dengan melontarkan wacana honor guru akan naik menjadi Rp20 juta atau bahkan pengangkatan guru honorer menjadi PNS.
“Artinya guru sanggup memengaruhi murid secara pribadi atau tidak pribadi di dalam kelas. Sehingga ini menjadi hal yang strategis (perolehan bunyi pemilu).
Guru juga sanggup berperan dalam politik melalui media sosial. Ia mencontohkan jikalau guru tersebut menjadi tumpuan siswa dalam kekritisan atau mempunyai pengikut yang cukup signifikan dalam media sosial, sanggup jadi pilihan guru terhadap suatu calon pasangan capres-cawapres memengaruhi murid.
Retno menyampaikan ada 3,2 juta guru di Indonesia yang sanggup dipengaruhi oleh politikus. “Membidik guru bukan hanya 3,2 juta bunyi tapi membidik puluhan juta bunyi lainnya. Sebab guru mempunyai keluarga dan murid,” terang dia.
Tak heran, lanjut Retno, para politikus akan terus mengakibatkan guru sebagai wadah potensial dalam politik, khususnya pemilu.
Pahlawan tanpa tanda jasa! Ya, itulah gelar yang disematkan kepada para guru, tak peduli itu guru Swasta, guru yang telah menjadi PNS atau yang bertahun-tahun tetap menjadi honorer. Sebutan yang bekerjsama mengandung arti yang sangat dalam.
Guru, dalam KBBI diartikan sebagai seseorang yang mempunyai pekerjaan mengajar, mencari nafkah dengan mengajar, meskipun bekerjsama pengartian ini tidak terlalu tepat, alasannya yakni tidak semua guru itu mencari upah atau balas jasa berupa uang. Ini harus digarisbawahi.
Seorang guru bukan cuma pengajar, tetapi ia yakni pendidik dan pembimbing. Mengajar hanyalah diutamakan untuk sebuah ilmu, tetapi mendidik mengutamakan etika dan kebijaksanaan pekerti, dimana nantinya seseorang yang pandai harus sanggup menerapkan ilmunya bagi kepentingan masyarakat dengan baik. Jangan hingga menjadi orang yang punya ilmu, pintar, tetapi ilmunya untuk 'memintari' orang lain.
Puluhan tahun yang lalu, kala Orde Baru, profesi guru dijadikan mesin politik salah satu Partai untuk mendulang suara, bukan hanya pada kaum guru, akan tetapi juga pada murid-muridnya yang kebanyakan buta akan politik. Saat itu, para murid diintimidasi secara halus dan terstruktur.
Lalu, dilarangkah seorang guru berpolitik? Ataukah Boleh?. Sementara profesi guru terbagi menjadi 2, guru yang terperinci PNS, dan guru non PNS.
Dalam UU No. 43 tahun 1999 pada pasal 3 disebutkan, PNS harus memperlihatkan pelayanan yang jujur, adil dan profesional.
Secara khusus pada ayat 2, undang-undang ini menyatakan “pegawai negeri harus netral dari efek semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memperlihatkan pelayanan kepada masyarakat.”
Bahkan, pada ayat 3, pegawai negeri sipil tidak boleh dengan tegas menjadi anggota dan/atau pengurus politik. Selain tidak boleh untuk menjadi anggota dan/atau pengurus, guru pegawai negeri sipil juga tidak boleh mengikuti aktivitas kampanye.
Ini juga sesuai dengan surat edaran MenDikBud no 4 Tahun 2004 wacana larangan pegawai negeri sipil dalam aktivitas kampanye Pemilu 2004, apalagi dilakukan di dalam lingkungan kampus. Dilarang!
Ini artinya jelas, seorang guru PNS TIDAK BOLEH melaksanakan aktivitas politik.
Lantas bagaimana dengan para guru yang non PNS? Tidak ada larangan sama sekali. Cuma ada ketentuan moral yang melatarinya yaitu Jujur dan Adil. Semestinya seorang guru tidak berpihak.
Makara bagi siapapun juga yang berprofesi sebagai guru, janganlah memanfaatkan jabatan terjun pribadi dalam politik praktis. Tetaplah jadi Pahlawan tanpa tanda jasa yang jujur, nrimo dan adil demi terciptanya manusia-manusia Indonesia yang higienis hatinya, jiwanya, pikirannya, juga tindakannya, demi Indonesia.
Teriring salam buat para guru Honorer. Tetaplah nrimo berjuang. Yakinlah suatu ketika, kebahagiaan itu akan datang.
Terima kasih telah membaca artikel ini, biar bermanfaat dan berikan komentar sarannya.
Advertisement