Sesiap Apa Madrasah Kita?
Jujur, saya suka Madrasah. Melihat Madrasah hari ini, sangat berbeda dari sepuluh tahun lalu. Mereka benar-benar berbenah. Kemenag pun mendukung penuh tiap gagasan yang mereka bangun.
Di bidang literasi misalnya, kemenag meluncurkan program yang lebih gagah. Gerakan literasi madrasah (GELEM). Bahkan program ini sudah masuk ke pelosok kampung. Seluruh madrasah ibtidaiyah di Lamongan misalnya mewajibkan sekolah untuk menulis buku. Minimal satu. Ada salah satu madrasah di kecamatan Kembangbahu, yang konsultasi pada saya terkait tugas dari kemenag kabupaten Lamongan ini.
Guru yang bersangkutan meminta konsultasi, saya tawarkan pendampingan. Biar saya punya pekerjaan. Hahaha! Saya siap mengobarkan api semangat santri madrasah untuk menulis buku sebaik mungkin. Tidak hanya siswanya, gurunya juga harus menulis buku. Guru itu uswah hasanah, contoh nyata. Biar gak ndabrus. Omong doang. Bisa perintah, tapi tak bisa melakukan. Ini memalukan sekali. Hihihi!
Nah, hebatnya madrasah itu juga sedang menyiapkan diri untuk proyek madrasah digital. Sebuah konsep yang telah mereka gagas lebih awal, sebelum Kemdikbud memiliki menteri juragan aplikasi. Konsep ini telah saya baca dan saya pelajari tiga hari ini. Saya dapat draf asli dari guru yang luar biasa, Pak Setiawan Agung Wibowo.
Setelah saya membaca, saya justru optimis proyek ini akan berjalan baik. Kemenag ternyata jauh lebih awal menyiapkan kapalnya untuk terjun pada dunia digital. Sebuah kenyataan yang tidak mungkin untuk dihindari. Telanjur basah, mandi sekalian. Berenang sambil minum air. Dunia bergerak dengan cepat. Isu lingkungan juga menjadi isu utama akhir zaman. Saatnya, mengubah pola pikir dari manual ke digital.
Masalahnya, siapkah madrasah masuk ke labirin ini? Siapkah guru madrasah dengan kapal segede gaban dengan citra tradisional yang melekat mengubah wajahnya menuju revolusi digital? Saya kok pesimis ya.
Begini, dalam konsep madrasah digital, setiap unit pelaksana tugas akan memiliki tanggung jawab besar untuk usaha nyata menuju madrasah digital. Artinya, mereka harus mampu memiliki sumber daya manusia sekaligus infrastruktur yang andal untuk tugas berat ini. Secara infrastruktur itu bisa saja. Wong ini ada anggaran, yang tentu saja tidak kecil.
Semua kegiatan pembelajaran, adminitrasi, evaluasi, dan seluruh proses pedagogi akan diaplikasikan ke dalam digital. Jika begitu, tentu keterbukaan informasi publik akan menjadi kenyataan yang terelakkan. Sementara pada praktiknya, mohon maaf, kemenag masih belum bisa menyakinkan publik untuk bisa transparan dan akuntabel.
Isu miring terkait korupsi di tubuh kemenag seolah lestari, ajeg, dan istikamah. Sumber daya manusia di madrasah juga harus membuktikan bahwa mereka bisa berdaya. Mampu menyerap informasi secara penuh dan sanggup menerapkan konsep madrasah digital secara benar dan bisa dipertanggungjawabkan. Jangan hanya karena ada anggaran, lalu dibiasakan. Asal ada, asal jalan, asal anggaran cair, dan asal laporan terpenuhi. Please!
Coba lihat Bagan di bawah, siapkah satu madrasah memenuhi tanggung jawab setiap satuan tugas di bawah ini? Mampukah? Jika memang merasa mampu, apakah mereka mau bekerja dengan tugas tambahan yang rumit dengan gaji yang normal? Jika memang madrasah tidak memiliki guru atau staf yang mampu, dan mereka harus merekrut satu atau dua ahli IT dari luar, sanggupkah mereka mengaji mreka dengan harga yang pantas?
Jer Basuki mawa bea. Mengko nang tambah lata. Hahaha! Guru yang ngambek itu muncul karena mereka sering dibohongi janji-janji. Gaji sudah rendah, karir yang macet, disepelekan, dan sudah gitu, dimusuhi lagi. Untuk apa?
Jujur, saya suka Madrasah. Melihat Madrasah hari ini, sangat berbeda dari sepuluh tahun lalu. Mereka benar-benar berbenah. Kemenag pun mendukung penuh tiap gagasan yang mereka bangun.
Di bidang literasi misalnya, kemenag meluncurkan program yang lebih gagah. Gerakan literasi madrasah (GELEM). Bahkan program ini sudah masuk ke pelosok kampung. Seluruh madrasah ibtidaiyah di Lamongan misalnya mewajibkan sekolah untuk menulis buku. Minimal satu. Ada salah satu madrasah di kecamatan Kembangbahu, yang konsultasi pada saya terkait tugas dari kemenag kabupaten Lamongan ini.
Guru yang bersangkutan meminta konsultasi, saya tawarkan pendampingan. Biar saya punya pekerjaan. Hahaha! Saya siap mengobarkan api semangat santri madrasah untuk menulis buku sebaik mungkin. Tidak hanya siswanya, gurunya juga harus menulis buku. Guru itu uswah hasanah, contoh nyata. Biar gak ndabrus. Omong doang. Bisa perintah, tapi tak bisa melakukan. Ini memalukan sekali. Hihihi!
Nah, hebatnya madrasah itu juga sedang menyiapkan diri untuk proyek madrasah digital. Sebuah konsep yang telah mereka gagas lebih awal, sebelum Kemdikbud memiliki menteri juragan aplikasi. Konsep ini telah saya baca dan saya pelajari tiga hari ini. Saya dapat draf asli dari guru yang luar biasa, Pak Setiawan Agung Wibowo.
Setelah saya membaca, saya justru optimis proyek ini akan berjalan baik. Kemenag ternyata jauh lebih awal menyiapkan kapalnya untuk terjun pada dunia digital. Sebuah kenyataan yang tidak mungkin untuk dihindari. Telanjur basah, mandi sekalian. Berenang sambil minum air. Dunia bergerak dengan cepat. Isu lingkungan juga menjadi isu utama akhir zaman. Saatnya, mengubah pola pikir dari manual ke digital.
Masalahnya, siapkah madrasah masuk ke labirin ini? Siapkah guru madrasah dengan kapal segede gaban dengan citra tradisional yang melekat mengubah wajahnya menuju revolusi digital? Saya kok pesimis ya.
Begini, dalam konsep madrasah digital, setiap unit pelaksana tugas akan memiliki tanggung jawab besar untuk usaha nyata menuju madrasah digital. Artinya, mereka harus mampu memiliki sumber daya manusia sekaligus infrastruktur yang andal untuk tugas berat ini. Secara infrastruktur itu bisa saja. Wong ini ada anggaran, yang tentu saja tidak kecil.
Semua kegiatan pembelajaran, adminitrasi, evaluasi, dan seluruh proses pedagogi akan diaplikasikan ke dalam digital. Jika begitu, tentu keterbukaan informasi publik akan menjadi kenyataan yang terelakkan. Sementara pada praktiknya, mohon maaf, kemenag masih belum bisa menyakinkan publik untuk bisa transparan dan akuntabel.
Isu miring terkait korupsi di tubuh kemenag seolah lestari, ajeg, dan istikamah. Sumber daya manusia di madrasah juga harus membuktikan bahwa mereka bisa berdaya. Mampu menyerap informasi secara penuh dan sanggup menerapkan konsep madrasah digital secara benar dan bisa dipertanggungjawabkan. Jangan hanya karena ada anggaran, lalu dibiasakan. Asal ada, asal jalan, asal anggaran cair, dan asal laporan terpenuhi. Please!
Coba lihat Bagan di bawah, siapkah satu madrasah memenuhi tanggung jawab setiap satuan tugas di bawah ini? Mampukah? Jika memang merasa mampu, apakah mereka mau bekerja dengan tugas tambahan yang rumit dengan gaji yang normal? Jika memang madrasah tidak memiliki guru atau staf yang mampu, dan mereka harus merekrut satu atau dua ahli IT dari luar, sanggupkah mereka mengaji mreka dengan harga yang pantas?
Jer Basuki mawa bea. Mengko nang tambah lata. Hahaha! Guru yang ngambek itu muncul karena mereka sering dibohongi janji-janji. Gaji sudah rendah, karir yang macet, disepelekan, dan sudah gitu, dimusuhi lagi. Untuk apa?
Advertisement